MUARA BUNGO - Ajang pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bungo tanpaknya ternodai oleh tindakkan indisipliner dari oknum ASN Pemda Bungo. Terutama di tubuh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Bungo.
PGRI Bungo diduga kuat dijadikan alat politik Kepala Dinas Pendidikan Bungo Endi, S.Pd, .MM untuk memenangkan Calon Bupati Bungo nomor urut 2 Jumiwan-Maidani.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies Menguat, Semua Merapat
|
Salah satu guru yang meminta identitasnya di sembunyikan menyampaikan kepada awak media. Dirinya dan sejumlah guru di arahkan untuk mendukung paslon nomor urut 2. Bahkan menurutnya Kepala Dinas Pendidikan dan beberapa pengurus PGRI tidak segan-segan menegur kepala sekolah, guru maupun tenaga honorer yang terdapat salah satu keluarganya mendukung paslon 01 Dedy-Dayat.
Seorang guru senior ini menyayangkan tindakan petinggi PGRI Bungo yang menjadikan organisasi PGRI sebagai alat politik untuk kepentingan pribadi. "Kami ko susah nak ngomong, isu-isu intimidasi itu memang benar, termasuk di tubuh PGRI. Agenda-agenda PGRI disusupi pesan-pesan politik yang mengarahkan ke salah satu calon, " ungkapnya.
Baca juga:
42 Dusun di Bungo Gelar Pilrio Tahun Ini
|
Menanggapi hal ini. Ketua Koalisi Partai Pengusung Dedy-Dayat, Martunis, A.Md mengingatkan agar Kepala Dinas Pendidikan Bungo, Endi, S.Pd untuk mematuhi aturan dan tidak menjadikan PGRI sebagai alat politik.
"Kami terus memantau, pengaduan-pengaduan dari masyarakat juga terus kita terima. Ingat ada banyak mata dan telinga yang mengawasi. Jangan ciderai demokrasi di Bungo dengan tindakan yang merusak pemilu hanya untuk kepentingan pribadi, " tegas Martunis.
Endi sendiri baru di angkat sebagai Kepala Dinas Pendidikan pada 14 Juni 2024 oleh Bupati Bungo H Mashuri. Dirinya terpilih sebagai Ketua PGRI Bungo setelah menjabat Kepala Dinas Pendidikan.
Sementara Masrizal Tim Hukum Dedy-Dayat menambahkan. Dirinya mengingatkan kepada Kepala Dinas Pendidikan serta pengurus PGRI lainnya, maupun ASN, kepala desa dan perangkat, BPD, ketua RT, ketua RW, ketua LPM, BUMD maupun tenaga honorer untuk tidak terlibat politik praktis dengan mendukung, mengkampanyekan dan mengajak orang lain memilih salah satu paslon.
"Putusan MK jelas bahwa siapapun seperti yang di sebut di atas terlibat, maka sangsinya pidana serta denda. Jadilah abdi negara yang patuh terhadap aturan, jangan jadikan jabatan sebagai tameng untuk menakut-nakuti bawahan, menginterpensi hanya untuk kepentingan jabatan pribadi, " tegas Masrizal.